-

-
Home » , , » Jogjakarta:Teladan Nilai dan Sikap

Jogjakarta:Teladan Nilai dan Sikap

Written By Ary Hamzah on Sunday, 24 June 2007 | 1:12 pm

Jogjakarta: Teladan Nilai dan Sikap
Oleh: Ki. Engkos Kosnadi
(Mantan Pemimpin Umum Majalah PENDAPA Tamansiswa, Ketua MPM UST, Divisi Advokasi dan Dewan Etik Nasional PPMI, Honorer di Disperindag Agro Provinsi Jawa Barat)Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.(http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi)Sebelum membahas demokrasi Indonesia kontemporer, sedikit dapat saya sisipkan tipe-tipe sistem demokrasi. Dalam buku Demokrasi dan Demokratisasi Georg Sorensen, menyampaikan bahwa lebih sulit membuat tipologi sistem demokrasi daripada sistem otoriter karena terdapat hanya sedikit demokrasi yang relatif stabil di negara-negara berkembang. Namun terdapat penyebutan yang sama untuk beberapa kasus demokrasi stabil ini dengan sebagian besar transisi yang sedang berjalan yang signifikan bagi prestasi pembangunan ekonomi. Pertama, ada demokrasi yang didominasi elit (elite-dominated democracy) yaitu sistem yang masih dikuasai oleh penguasa tradisional, walaupun bahkan dalam tekanan daribawah, yang dengan sukses menggunakan stategi baik kompromi maupun kekerasan atau campuran keduanya untuk merebut kembali paling tidak sebagian dari kekuasaannya. Sebagian besar transisi menuju demokrasi yang sedang berlangsung disebut dengan transisi dari atas (transition from above) yaitu transisi yang didominasi oleh elite. Kedua, demokrasi yang didominasi massa yaitu sebuah sistem dengan aktor massa yang dimiliki kekuasaan di atas kelas penguasa tradisional. Mereka mendorong reformasi dari bawah, menyerang kekuasaan dan hak-hak istimewa kaum elite seperti yang terjadi di pemerintahan Unidad Popular (Popular Unity) dibawah Salvador Allende di Cili antara tahun 1970-1973. Penting dicatat bahwa demokrasi bukan saja merupakan sebuah nilai dalam dirinya sendiri, tetapi demokrasi juga memajukan hak-hak sipil dan politik lainnya. Walaupun negara-negara demokrasi mungkin tidak lebih bagus dalam hal pembangunan ekonomi dibandingkan dengan sistem otoriter, dugaan mengenai adanya trade-off antara demokrasi dan pembangunan telah ditolak. Sebagian besar dari sistem otoriter adalah opensif, dan mempunyai kinerja yang jelek dalam bidang pembangunan ekonomi. Pada waktu yang sama, transisi menuju demokrasi tidak menjamin akan pembangunan ekonomi yang cepat dan situasi hak-asasi yang meningkat pesat. Demokrasi beku yang didominasi elite tampaknya menahan janji-janji akan proses pembangunan ekonomi yang akan menguntungkan sekelompok besar masyarakat miskin.Transisi menuju demokrasi itu sendiri dapat menimbulkan situasi instabilitas dan pergantian kekuasaan yang melibatkan pelanggaran HAM. Janji-janji demokrasi bukanlah peningkatan secara otomatis diberbagai bidang kehidupan yang tidak terkait dengan kebebasan politik, janji-janji tersebut adalah menurut bahasa Sorensen adalah penciptaan jendela peluang, kerangka politik dimana kelompok-kelompok berjuang untuk pembangunan HAM mempunyai peluang yang lebih baik dibandingkan sebelumnya dalam mengorganisasikan dan menyuarakan tuntutannya. Demokrasi menawarkan peluang; bukan menawarkan jaminan keberhasilan. (Georg Sorensen/Univ. Aarhus, Demokrasi dan Demokratisasi-proses dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah, Pustaka Pelajar, 2003) Seperti dikutip Sri Sultan dalam tulisannya pada buku Indonesia Berkaca: Refleksi Kritis Atas Perubahan “Robert A. Dahl (1971) mengatakan, transisi menuju demokrasi yang stabil umumnya didahului oleh bangkitnya dinamika, kompetisi dan konflik di kalangan elit terlebih dahulu. Mustahil terbentuk sebuah masyarakat demokratis tanpa adanya kompetisi dan konflik elit. Dinamika politik elit itu bukan saja berfungsi menyalurkan perbedaan yang memang ada di dalam masyarakat, tetapi juga menjadi motor penggerak pertumbuhan sebuah bangsa, jika ia terkendali. Agaknya Indonesia sedang berada pada situasi transisi seperti ini di jalan menuju Indonesia Baru. Sultan juga meyakini pendapat Dahl yang mengabstraksikan tiga jalan menuju kondisi demokrasi dari sistem yang sama sekali tidak demokratis (closed hegemoni) yaitu pertama, sistem yang tidak demokratis itu dapat terlebih dahulu berkembang menuju situasi competitive oligarchis (jalan1), yaitu kondisi yang ditandai oleh tingginya kompetisi politik di kalangan elite, namun dengan partisipasi publik masyarakat luas yang dibatasi, model ini top-down. Kedua, sistem itu berkembang dulu menuju inclusive hegemony (jalan 2) dimana perluasan partisipasi politik masyarakat dikalangan elite, tetapi menekan dan menyeragamkan politik para elite, model ini bottom-up. Ketiga, sistem itu secara langsung menuju demokrasi yang membuka secara serentak kompetisi politik para elite dan partisipasi non-elite (jalan 3), model ini menciptakan “geger demokrasi”. Historis Jogjakarta Setelah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47.Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta sekarang ini terletak di pusat Kota Yogyakarta.Kita dapat melihat tahapan hingga terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat:1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram yang masih kosong oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan adalah putra Ki Ageng Ngenis atau cucu Ki Ageng Selo, tokoh ulama besar dari Selo kabupaten Grobogan. 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede. Selama menjadi penguasa Mataram ia tetap setia pada Sultan Pajang. 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal dan dimakamkan di sebelah barat Mesjid Kotagede. Sultan Pajang kemudian mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram. Sutawijaya juga disebut Ngabehi Loring Pasar karena rumahnya di sebelah utara pasar. Berbeda dengan ayahnya, Sutawijaya tidak mau tunduk pada Sultan Pajang. Ia ingin memiliki daerah kekuasaan sendiri bahkan ingin menjadi raja di seluruh Pulau Jawa. 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat. 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan bergelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Sebagai legitimasi kekuasaannya, Senapati berpendirian bahwa Mataram mewarisi tradisi Pajang yang berarti bahwa Mataram berkewajiban melanjutkan tradisi penguasaan atas seluruh wilayah Pulau Jawa. 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. 1613 - Mas Jolang wafat kemudian digantikan oleh Pangeran Aryo Martoputro. Tetapi karena sering sakit kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman dan juga terkenal dengan sebutan Prabu Pandita Hanyakrakusuma. Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mengalami perkembangan pada kehidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Ilmu pengetahuan seperti hukum, filsafat, dan astronomi juga dipelajari. 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Amangkurat I. 1645 - 1677 - Setelah wafatnya Sultan Agung, kerajaan Mataram mengalami kemerosotan yang luar biasa. Akar dari kemerosotan itu pada dasarnya terletak pada pertentangan dan perpecahan dalam keluarga Kerajaan Mataram sendiri yang dimanfaatkan oleh VOC. 13 Februari 1755 - Puncak dari perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam Perjanjian Giyanti tersebut dinyatakan bahwa Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Ingkang Sinuwun kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Abdul Rakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah atau lebih populer dengan gelar Sri Hamengkubuwana IJogja dan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta. Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi: (a) Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat, (b) Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat, (c) Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat, (d) Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat, (e) Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat. Sedang kekuasaan Praja Paku Alaman meliputi: (a) Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, (b) Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia.Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar filosofi yang lain adalah Hamangku-Hamengku-Hamengkoni, Tahta Untuk Rakyat, dan Tahta untuk Kesejahteraan Sosial-kultural.Landasan Yuridis Konstitusional, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 3) dan UU Nomor 19 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 48) yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58).UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan.UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi dan diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 44) dan UU Nomor 16 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP Nomor 32 Tahun 1950 ( Berita Negara Tahun 1950 Nomor 59) yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten:Bantul beribukota di Bantul, Sleman beribukota di Sleman, Gunung kidul beribukota di WonosariKulon Progo beribukota di Sentolo, Adikarto beribukota di Wates, Kota Besar YogyakartaDengan alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU No 22 Tahun 1948).Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Darurat Nomor 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU Nomor 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562). Menilik latar, adanya pertanyaan tentang mekanisme Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi? Tentunya jawabnya akan tergantung bagaimana kita memandang demokrasi (apakah demokrasi secara substantif, demokrasi dalam pengertian prosedural ataukah penetapan tersebut sesuai dengan kehendak rakyat?”. Dalam analisisnya Bambang Purwoko menjelaskan bahwa [para ilmuwan politik sangat percaya bahwa sampai saat ini tidak ada satupun definisi tunggal tentang apa yang dimaksud demokrasi. Namun demikian sebgian besar ilmuwan politik sepakat bahwa inti dari demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Kehendak rakyat, dengan demikian, adalah energi utama bagi lahirnya kebijakan-kebijakan politik, termasuk penentuan jebatan politik]. Dalam konteks DIY inilah adalah sangat keliru jika menganggap bahwa mekanisme Penetapan Gubernur merupakan proses politik yang tidak demokratis. Justifikasi hukum oleh DPRD menjadi penting ketika merujuk peraturan sebagai landasan legal formal. Namun kehendak rakyat adalah kekuasaan tertinggi bagi berlangsungnya sebuah demokrasi. Jadi sepanjang rakyat mampu meyakinkan pilihan terhadap Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam IX adalah sikap dan proferensi mayoritas warga Yogyakarta, maka disitulah esensi demokrasi menemukan jatidiri. Oleh karena itulah mekanisme “penetapan” justru merupakan langkah politik yang sangat demokratis karena sesuai dengan kehendak rakyat. Bahkan bisa dikatakan “penetapan” adalah watak khas demokrasi asli, khususnya untuk masyarakat Yogyakarta dengan predikat keistimewaaannya. (Bambang Purwoko dalam Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Editor Abdul Gaffar Karim/Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Pustaka Pelajar, 2003)Kearifan dan Toleransi Jogja Sultan menyakini apa yang telah disabdakan oleh Rosulullah Nabi Muhammad SAW “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya”. Disamping itu Sri Sultan mensitir Sabda Rosulullah lagi bahwa Pemimpin suatu kaum /bangsa adalah pelayan mereka, sehingga hadist tersebut dengan tepatnya Kata Sultan mendiskrepsikan fungsi pemimpin bukan pada kemampuan membagi tugas kepada bawahannya semata, melainkan pada tanggungjawabnya yang utama sebagai pelayan atau khatib. Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X jika Filsafat itu diaktualisasikan maka ia adalah pemimpin yang memiliki dedikasi tinggi yang siap melayani bukan sebaliknya, karena kekuasaannya minta dilayani rakyat (http://www.pemda-diy.go.id/Pemerintah Propinsi DI.Yogyakarta, Peluncuran Buku Sabda Ungkapan Hati Seorang Raja Kraton Yogyakarta)Budaya Jawa masih memegang peran strategis dalam strategi penyiasatan kultural. Karenanya, “perebutan lahan” di atasnya sulit dihindarkan. Sering terjadi benturan kepentingan antara hegemoni kekuasaan, hegemoni kultural, serta semangat menjaga independensi nilai kultural dari berbagai bentuk intervensi. Dalam perbenturan itu, nilai-nilai budaya Jawa sering sulit ditangkap. Terlebih yang bersifat imateriil, misalnya kawruh jiwa, sebuah potret Ki Ageng Suryomentaram dan Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang begitu kabur di hadapan generasi kontemporer.Mawas diri ternyata bukan sekadar pelaksanaan suatu doktrin moral, tetapi juga suatu metode untuk memahami proses-proses kejiwaan manusia. Karenanya “rehabilitasi introspeksi” (baca: mawas diri) sebagai metode yang sah dalam psikologi bisa dikatakan sebagai kesimpulan, yang agaknya, juga bisa disarankan sebagai anjuran. Mawas diri (mulat sarira) sebagai salah satu ajaran vital dalam psikologi Jawa, barangkali resep ampuh untuk membasmi penyakit kultural yang kini melanda masyarakat kita: sering membebankan kesalahan kepada orang lain. Ternyata, elan ilmu jiwa Jawa sanggup memberi kontribusi yang tidak sedikit untuk menyembuhkan peradaban dari penyakit seperti korupsi, kolusi, manipulasi, hipokrisi, dan seterusnya.(http://kabare.jogja.com,/ Senin, 02 April 2007, Psikologi Jawa, Acuan Falsafah Dalam Manajemen)Dalam kata pengantar buku Mitologi dan Toleransi Orang Jawa Georg McT. Kahin, menuliskan “budaya tradisional akan membantu menjelaskan fenomena masa kini; selain itu juga menjadikan pendekatan orang Jawa terhadap agama lebih dapat dipahami-tidak hanya terhadap Islam tapi juga Hindu dan Buddha, yang diperkenalkan di pulau ini pada masa sebelumnya. Warisan tersebut telah mengondisikan cara penerimaan gagasan dari luar, Barat maupun non-Barat dan membantu untuk mempertimbangkan pola sintesis khusus yang telah menjalin gagasan tersebut ke dalam lingkungan budaya Jawa. Yang paling terlihat jelas adalah cara unsur-unsur budaya Jawa Kuno yang lestari tersebut mempengaruhi nilai-nilai masa kini. Dan nilai-nilai tersebut yang membentuk karakter dan sikap para bangsawan keraton termasuk Jogjakarta. Suatu kemampuan untuk mengakomodasi dan menoleransi norma-norma dan gagasan-gagasan yang bertentangan, kemampuan untuk meladeni keberadaan bersama gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang rasanya tidak saling berkecocokan dalam banyak lingkungan Barat, kapasitas luar biasa untuk menoleransi secara simpatik dalam perilaku sosial-hal-hal tersebut menjadi atribut masyarakat Jawa masa kini yang diturunkan dari budaya Jawa Kuno. Dan unsur-unsur tersebut yang paling memungkinkan didekati melalui media seni tradisional adalah wayang, pentas bayang-bayang Jawa yang didasarkan pada adaptasi dan pengembangan tema-tema dan babak-babak utama Ramayana dan Mahabarata”. Menurut Anderson dan menarik perhatian saya bahwa yang mengagumkan dari penghargaan orang Jawa terhadap keragaman manusia. Sifat sejati “toleransi” Jawa haruslah dicari bukan pada kerelaan menerima sistem-sistem etika dan keagamaan secara abstrak “humanis”, melainkan pada perasaan orang Jawa tentang kepribadian dan trandisi mereka (Jawa)”. Hal yang mendasar yang menjadi pembeda antara masyarakat Barat dan Jawa adalah ketiadaan mitologi religius yang memiliki dorongan kuat pada masyarakat Barat. Sementara hal itu senantiasa membayangi masyarakat Jawa. Pernyataanya lainnya yang menarik adalah “Moralitas orang Barat jadi semakin lama semakin pragmatik-tanpa puisi maupun metafisika. Di Jawa karena alasan-alasan historis yang terlalu rumit, tapi masih terdapat mitologi religius yang diterima hampir secara universal, yang mampu membina suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendaam. Inilah yang Benedict sebut dengan “tradisi wayang”. Dalam sisi ini Sultan menginsyafi bahwa setiap politikus harus menyadari bahwa politik ist Beruf und Berufung--meminjam istilah Max Weber--yang artinya, politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup. Atau politik, bagi Plato, adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society, dan bagi Aristoteles adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker, 1961).Karena itu, dalam berpolitik, biar bagaimanapun harus berjalan pada jalur utama sebagai pijakan dasar sekaligus tujuan, yaitu etika politik. Etika politik sesungguhnya mau menyentuh aspek moral dari politik, yang signifikansinya adalah menciptakan kesejahteraan bersama. Keadilan dan kesejahteraan bersama pun hanya bisa terwujud dengan baik bila para pejuangnya, dalam hal ini para politikus, tidak memiliki cacat moral, dalam arti tetap memiliki kearifan, kebajikan, berkepribadian mantap, integritas yang tinggi, berbudi luhur, dan berperilaku terpuji.Dan menurut saya, Sultan mewarisi tradisi adiluhung tersebut. Sikap bijaksana, arif dan tepa selira serta toleransi itulah yang menjadikan Sultan sosok humanis tradisionalis yang tahu arti dan sekaligus mempraktekannya dalam berpolitik. Citra dan wibawa yang selama ini dijunjung tinggi Sri Sultan seharusnya dapat menjadi teladan, contoh bagi perbaikan moralitas dan etika “para politisi” dan borokrat negeri ini. Sultan dan Nilai Demokrasi Mohamad Sobary mempunyai definisi tentang Sultan [Sultan ya Sultan. Tak ada orang yang tak mengerti artinya karena meskipun kata itu berasal dari bahasa Arab, waktu telah mengubahnya menjadi bagian dari sejarah, sistem politik, dan kekayaan budaya kita. Sultan dan kesultanan—artinya raja Islam dan kerajaan Islam—sejak lama telah ikut membentuk dan menjadi bagian ke-Indonesia-an kita. Di berbagai wilayah Nusantara dulu, para sultan gigih berjuang mengusir penjajah Portugis maupun Belanda. Maka mereka pun kita jadikan pahlawan nasional]. (http://www.kaskus.us/[Kolom Asal Usul Kompas] Mohamad Sobary)Menunjuk pada momentum Sabtu Wage, 7 April 2007 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono X melakukan satu langkah nyata bagi perkembangan posisi maupun eksistensi Kerajaan/Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Saat itulah yang dicatat oleh berbagai media baik dalam dan luar negeri dimana Ngarsa Dalem (Sultan) menyatakan keinginannya untuk tak bersedia lagi menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta setelah masa jabatannya berakhir pada 2008 yang pernah ditulisnya dalam “Berbakti Pada Ibu Pertiwi). Pesan inilah yang oleh para kawula dasih ditempatkan sebagai “setidak-tidaknya diasosiasikan dengan- sabda brahmana raja yang memiliki sifat tan kenawola-wali, pindha we kresna kang tumetes ing dlacang seta (tak bisa berubah, laksana tinta yang menetes pada kertas putih)” (Pamomong pada http://kajawen.suaramerdeka.com/). Pendapat Prof Dr Damardjati Supadjar, pakar filsafat Timur. Menurutnya, [para kawula itu bukan menghadap Sultan, melainkan rakyat bersama Sultan menghadap pada Yang Mahakuasa untuk meminta keadilan. Sebab, kalau alif sudah tampak pada tugu (di ujung Jalan Malioboro), yang terjadi justru apa yang disebutnya soca bathara, mata ilahiah. Ini juga paralel dengan pernyataan Sri Sultan bahwa pengabdian itu adalah untuk memberi, bukan menerima]. (http://suarakarya-online.com/)Implikasinya rakyat Jogjakarta (tepatnya para abdi Sultan) atau kawula Ngayogyakarta minta digelar pisowanan ageng untuk mendengarkan sendiri sabda Sultan atas pernyataannya sebelumnya. Dihadiri Unsur Muspida, Bupati, wali kota dan abdi dalem dan yang pasti hadirnya puluhan ribu (http://suarakarya-online.com/) mencatat angka 40.000 warga dan di (http://korantempo.com/) mencacat angka yang jauh dibawah yaitu 10 ribu warga) warga dari Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta hadir di Pagelaran Keraton Kasultanan. Hal yang menjadi teladan dilakukan Sultan pada acara tersebut dengan tidak lagi duduk di singgasana, tetapi lesehan sama rendah dengan rakyat. Sikap mau berbaur dengan rakyat ini menunjukkan situasi kedekatan Sultan dengan rakyat. Konsep pisowanan agung-pun bukan lagi bermakna ngabekten, melainkan dialog antara raja dan rakyatnya. Hebatnya reaksi masyarakat terhadap sabda Sultan menggambarkan satu hal sangat penting, yaitu kedekatan ikatan emosional antara rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sri Sultan. Masyarakat memang memiliki ikatan sosio-kultural-emosional yang sangat kuat dengan institusi kesultanan dan pribadi sultan, baik Sultan HB IX maupun Sultan HB X. (http://suarakarya-online.com/)Beragam analisis dan amatan dilakukan beberapa saat pasca pisowanan tersebut, seperti berita dimedia yang menulis “uger-uger itu tak lantas membuat semua orang yakin bahwa Sri Sultan benar-benar akan lereh dari dhampar gubernuran, berhenti dari kekuasaan konkret secara politis. Ada-ada saja pikiran nakal yang mengemuka, jangan-jangan itu cuma test case sang Raja untuk meretas jalan lain sekaligus menakar seberapa besar dukungan kawulanya hal ini pula yang ditulis Koran Tempo, Sabtu 21 April 2007 yang berkata bahwa sejumlah pakar politik menilai langkah Sultan itu adalah manuver politik untuk mengetes dukungan masyarakay terhadapnya (Headline: Sultan Tolak Jabatan menteri di (http://korantempo.com/) . Maklumlah, nyaris sudah menjadi kelaziman para pemimpin di negeri ini untuk "dinamis" atas pernyataannya sendiri -untuk tak menyebut esuk tempe sore dhele, sore dhele esuk tahu. Apa yang baru saja dikatakan, dengan enteng dibantahnya sendiri.” (http://kajawen.suaramerdeka.com/) atau Menurut J Kristiadi (2007) [kegiatan pisowanan agung secara historis berangkat dari tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Mataram. Kemudian dilestarikan oleh pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) I. Meskipun demikian pisowanan agung kali ini bermakna lain. Dari aspek kultural, pisowanan agung merupakan wujud loyalitas rakyat kepada sultannya yang diharapkan bertindak sebagai pengayom. Dari aspek politik, sejatinya pisowanan agung merupakan instrumen politik untuk mengetes potensi kekuatan untuk menjadi tokoh nasional, apakah masih ada loyalitas dari rakyat (testing the water)].Kuatnya sentimen lokal masyarakat Ngayogyakarta (dan suku Jawa pada umumnya) sangat bersinggungan dengan dimensi leadership Sri Sultan HB X. Jika dilihat dari tipologi kepemimpinan Max Weber, tipe kepemimpinan Sultan adalah kharismatik tradisional. Yaitu pengakuan masyarakat bahwa Sultan dengan segala atributnya adalah penguasa Kerajaan Mataram. Dalam pisowanan agung tersebut Sultan menunjukkan komitmennya untuk membawa ruh pluralitas dari Yogyakarta untuk mewarnai Indonesia. Sejauh ini masalah penerimaan terhadap kemajemukan menjadi akar masalah yang mempersulit bangsa untuk bangkit dari keterpurukan. Tetapi, di sisi lain, masyarakat DIY di bawah kepemimpinan Sultan mampu menunjukkan sustainabilitas untuk hidup rukun dalam kemajemukan agama, suku, dan etnis. Pada salah satu surat kabar nasional, Sultan mengungkapkan kesediaan dicalonkan menjadi presiden, demi mengabdi kepada rakyat dalam konteks yang lebih luas. Tekad Sultan HB X untuk maju ke pentas nasional sebenarnya sudah dimulai ketika ikut dalam konvensi calon presiden Partai Golkar tahun 2004. Sultan maju dalam konvensi itu, karena pada awalnya didukung 16 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar se-Indonesia. Tetapi, dalam perkembangan konvensi, dia hanya didukung tujuh DPD. Naiknya Sultan ke pentas pemilihan presiden (Pilpres) 2009 memang sebuah keharusan. Namun, semua itu tergantung apakah Golkar bersedia menjadi kendaraan politik Sultan. Meski saat ini Sultan menjadi penasihat Partai Golkar, namun Sultan akan sulit untuk maju sebagai calon presiden bersama partai berlambang beringin ini (Langkah Politik Sultan dan Masa Depan Golkar Oleh Agus Wibowo di (http://www.suarakarya-online.com/)Namun orang semacam tokoh telematika yang juga kawula Ngayogyakarta, Roy Suryo, menangkap itu sebagai kiasan belaka. [Kalau Sultan saja yang paling pantas memimpin Yogya bilang tidak mau dipilih, apalagi yang lain yang jauh lebih tidak berhak, sehingga sebaiknya tidak usah ada yang mengajukan diri jadi gubernur]. Tentu saja terhadap pendapat semacam itu, orang bisa mengatakannya sebagai spirit feodal yang masih demikian kental. Masuk juga dalam golongan ini mereka yang menganggap demokrasi bukan segala-galanya. Demokrasi bukan jaminan. Bukan demokrasi pun kalau ditangani oleh orang yang jelas kredibilitasnya, keadaan pasti akan menjadi lebih baik. Dan, Sultan dianggap tahu betul soal itu. (Pamomong: Mengejar Makna di Balik Sabda Brahmana Raja di http://kejawen.suaramerdeka.com/)Regamnya pendapat yang menilai langkah yang dilakukan Sang Sultan sesunggguhnya kita dapat melihat dari beragam sisi pula, kita harus ingat bahwa politik itu berjuta wajah dan apabila pisau analisisnya adalah politik tentunya semua gerak dan sikap manusia baik itu Sultan sebagai tokoh lokal dan nasional sesuangguhnya bisa menjadikan alasan kuat. Tapi penting diingat bahwa Sultan adalah Sultan yang tidak hanya memegang sisi tradisi tapi wali agama (lihat arti gelarnya) maka setiap keputusan yang dilakukannya tidak bisa dikatakan hanya test case (testing the water) kekuatan dukungan politik atau bahkan ada yang mengungkapkan tulisannya dengan mengatakan bahwa Sultan mengingat Suharto yang harus lengser keprabon atas desakan “rakyatnya” sendiri, saya pikir ungkapan demikian hanya olah pikir cari-cari alasan, kita tahu bahwa Sultan masih dicintai rakyatnya, dan dianggap sosok yang berbudi bawa leksana, ambeg paramarta. Rakyat merasa aman dan diayomi selama ini, toh berbicara Sultan, rakyat Jogja tidak hanya memandang sosok HB.X saja tapi pandangan jauh kebelakang (dari Perjanjian Giyanti sampai HB.IX) dimana Jasa, Perjuangan dan teladan hidup telah dipatrikan disanubari rakyat. Analisis kosong yang mengatakan hanya untuk mendapatkan perhatian dati Jakarta (Pemerintah Pusat) karena RUU Keistimewaan DIY urung rampung-rampung. Tapi yang jelas pada mata kita, bahwa inilah sikap yang terbaik bagi bangsa dan tentunya teladan dari Sultan. Di tengah atmosfer politik yang penuh hawa nafsu berburu kekuasaan, kepalsuan, kemunafikan, sikap oportunistik dan sikap menghalalkan cara, Sultan HB X menunjukkan kepemimpinan dan keteladanan untuk menolak memegang kekuasaan politik lagi. Itu merupakan sikap yang menunjukkan konsistensi dan keberpihakan keraton pada kepentingan rakyat. Dalam tulisan ini coba kita buktikan dengan beberapa kutipan pendapat Sultan pada Pisowanan tersebut: Ia mengatakan, jika ada yang berpendapat bahwa dirinya punya orientasi untuk 2009, hal tersebut bukan urusannya. "Itu hanya pendapat orang," katanya. Ia mengatakan, dirinya dalam kehidupan mengalami tiga proses yang berat untuk memutuskannya. "Saya bergulat dan bertanya dengan diri sendiri, serta bertempur dengan diri sendiri,". Sultan mengatakan, keluarga keraton telah memilih dirinya untuk meneruskan dinasti Mataram dengan nama Hamengku Buwono X. "Saya sadar sebagai sultan tidak boleh melepas fondasi yang sudah dibangun leluhur saya, dan saya harus ikhlas mengabdi kepada rakyat dan bangsa," Menurut dia, semua Sultan Hamengku Buwono secara spiritual wajib berbicara benar, berpikir benar dan jujur. Untuk itu, kata dia, dirinya harus jujur dan ikhlas mengabdi kepada seluruh rakyat. "Saya paham tentang itu, dan saya harus melakukannya, sekaligus untuk menjaga fondasi yang telah dibangun leluhur saya," kata Sultan HB X. Sebenarnya, ada persoalan yang lebih penting daripada ia harus menjabat sebagai Gubernur DIY. Yakni, persoalan bangsa yang harus segera diselesaikan. 'Barangkali kalau saya tidak jadi gubernur, kemungkinan saya lebih bisa membantu persoalan bangsa. Karena mobilitas saya akan lebih gampang dan lebih cepat daripada saya menjabat sebagai gubernur,'';Namun, tambah Sultan, jangan lalu diartikan tidak mau lagi memikirkan Yogyakarta. Ia mengaku tetap konsisten memikirkan dan memajukan masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi akan lebih mudah dan lebih bisa mengelola Yogyakarta dengan lebih fokus. Sudah merupakan janji Sultan dengan ayahandanya, almarhum Sri Sultan HB IX untuk mengabdikan diri kepada masyarakat DIY. ''Jadi gubernur itu pengabdiannya hanya sampai 5 tahun. Sementara kewajiban saya untuk mengabdi kepada Bapak-bapak Ibu-ibu sampai mati,'' kata Sri Sultan di hadapan puluhan ribu warga yang memadati Pagelaran Keraton dan Alun-alun Utara, Yogyakarta. Ia minta warganya tidak khawatir kehilangan Sultan. Selain itu, juga minta maaf apabila selama menjadi gubernur belum bisa berbuat apa-apa. Sebab, komitmen Ngarsa Dalem sejak diangkat menjadi Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak hanya untuk Yogyakarta, tapi juga untuk bangsa Indonesia. ''Ini sudah komitmen saya kepada almarhum ayah saya,'' katanya. ''Walaupun tidak jadi gubernur, Bapak-ibu tidak akan kehilangan Sultan, karena saya tetap akan di Yogyakarta. Sebagai raja di Keraton Yogyakarta, tetap akan mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara''. Soal keistimewaan untuk RUU DIY, ia minta warga tidak usah gelisah, mengko gek-gek ngene, marilah kita sama-sama mengawal RUU tersebut agar bisa bermanfaat untuk Yogyakarta. ''Saya kira pemerintah pusat mau mengerti dan mendengar aspirasi warga Yogyakarta. Mohon doa restu agar yang saya sampaikan mendapat rida. Sebab, sabda pandhita ratu, tidak boleh molak-malik seperti dikatakan media massa, bukan sebatas itu maknanya,'' jelas Sultan. (HB X: 2009 Bukan Urusan Saya di (http://www.suaramerdeka.com/harian). Ngarsa Dalem X pun diperhadapkan dengan tuntutan sejarah yang membuat beliau harus bersikap dan mengambil keputusan bijaksana. Selama proses penyusunan UU Keistimewaan Yogya ini muncul berbagai macam sikap dan pandangan yang berkiblat pada kepentingan Yogya, kepentingan rakyat Yogya, keraton, sekaligus kepentingan Indonesia. (http://www.kaskus.us/[Kolom Asal Usul Kompas] Sultan Mohamad Sobary)Keputusan Sultan tersebut sepertinya sejalan dengan apa yang pernah ditulisnya bahwa menyebut [Indonesia Baru, kadang terasa agak “ambisius” dan terlalu “bersemangat”. Ini disebabkan karena, kita tidak mengedepankan sense of victory-yakni kesadaran semata-mata sebagai pemenang atau penerima hibah kekuasaan-ketimbang memejamkan kepekaan sense of crisis dan sense of responsibility. Berkembangnya sense of victory ini bisa memicu munculnya kembali kesombongan dan keserakahan yang membawa serta budaya kekerasan yang menjadi ancaman potensial terhadap persatuan dan kesatuan bangsa]. Sultan juga mengurai bahwa Indonesia Baru yang digagas ini merupakan political dream yang ketiga dalam sejarah kontemporer bangsa Indonesia. Political dream yang pertama adalah “kemerdekaan” yang oleh Bung Karno dianalogikan sebagai “jembatan emas”, sarana bagi bangsa Indonesia untuk menyeberang dari alam penindasan kolonialis-imperialis yang memiskinkan dan membodohkan, menuju daratan keemasan yang bebas merdeka untuk membagun kejayaan sebagaimana perbah dialami bangsa ini, dibawah bendera Sriwijaya dan Majapahit. Political dream kedua yaitu “Orde Baru” yang digagas rezim Soeharto yang memakai idiom “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya”sebagai pemisah untuk membedakan konsep pemerintahan dengan rezim sebelumnya yang lebih menonjolkan retorika politik nation and character building. Dan secara umum Orde Baru mengenasnya dalam jargon “pembangunan berkesinambungan”. Dan Soeharto selama tiga dasawarsa menjadi market leader dalam menjajakan hingga membius segmen pasar sipil-militer, awam-intelektual,petani-pedagang, pegawai negeri-swasta, guru-murid, konglemerat-orang melarat. Sultan juga pernah mengingatkan bahwa ternyata banyak politisi lupa, bahwa political dream memiliki batasan waktu. Cerita mimpi selalu berakhir justru ketika kita tinggal selangkah lagi memasuki bagian ending. Seperti Soekarno yang akhirnya tergoda untuk menyatukan kekuatan Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom) menjelang memasuki halaman akhir. Dan Soeharto terbangun ketika landas pacu bagi tinggal landas pesawat (Indonesia) hampir selesai yang pada akhirnya diterpa badai (Krisis Moneter). Toh ketika politisi yang berbasis kampus mendeskripsikan Indonesia Baru yang masih berupa slogan masyarakat Madani sebagai terjemahan civil society dijual kepasar (politik) nasional. Akibatnya terjadi kegamangan karena ulah tangan-tangan politisi yang nakal hingga terjadinya benturan persepsi. Resep terbaik Sultan masih salam tulisannya di Indonesi Berkaca adalah pilihan sehat yaitu bagaimana membangun sikap toleransi untuk mengembangkan pluralisme sebagai kekayaan negara dan bangsa ini. Karena sejak kelahirannya bangsa ini harus cerdas mengelola kebhinekaan sebagai bagian kenyataan sejarahnya. Dan konsep political dream Sultan yang bertujuan untuk meneguhkan kembali semangt kolektif persatuan dan kesatuan Indonesia Baru adalah sebuah sistem yang memungkinkan: “Tersusunnya kembali kehidupan negara-bangsa (Indonesia) yang menghormati hak-hak rakyat, baik secara individu (HAM) maupun komunal (hak masyarakat adat), serta menjamin kedaulatannya atas kualitas hidup terbaik, sesuai dengan kemampuan dan keadaan wilayah masing-masing”. (Meneguhkan Kembali Semangat Kolektif Dalam Persatuan dan Kesatuan Indonesia Baru pada buku Indonesia Membaca: Refleksi Kritis Atas Perubahan, Forum LSM DIY-YPPIK, Yogyakarta, 2000)Dari Jogja Sultan akan memulai atau lebih baik meneruskan perjuangan demokrasinya, sebagai bukti akan nasionalisme yang diyakininya dari Ernest Renan: “nation adalah referendum yang terulang-ulang setiap hari” dan Sultan tahu yang terbaik bagi bangsa dan negara (Indonesia) ini. Jogja Simpul Budaya “Demokrasi”Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai historis dimana berlatarbelakang kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai tanah dan airnya. Pun demikian dengan tradisi/budaya para bangsawan/aristokratnya yang tentunya mempunyai akar yang kuat di akar rumput, hal inilah yang dimanfaatkan oleh para aktor-aktor politik negeri ini. Ada banyak nama, proses aristokrasi dilakukan oleh hampir semua elite politik di Indonesia. Taufik Kiemas perlu membuat silsilah yang menghubungkan dirinya dengan penguasa adat Minang. Tim kampanye Amien Rais mempertemukannya dengan silsilah Prabu Brawijaya dari Majapahit, dan Megawati terus mengusung keterkaitannya dengan penguasa Bali melalui neneknya. Dalam waktu hampir bersamaan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Akbar Tandjung, dan Wiranto menerima anugerah gelar pangeran dari Keraton Surakarta.Demokrasi di Indonesia mengalami proses aristokrasi¹) atau pembangsawanan yang ditandai dengan upaya para elite politik untuk mengaitkan dirinya dengan silsilah atau kekerabatan para bangsawan di beberapa keraton. Upaya itu sengaja dilakukan untuk merebut pangsa pasar dari masyarakat pemilih tradisional yang orientasi politiknya masih berkiblat pada keraton. Jika proses itu berlanjut, demokrasi yang sedang diperjuangkan akan tersendat.proses aristokrasi itu sangat mengkhawatirkan karena akan menghambat transisi menuju demokrasi yang tengah berjalan.Aristokrasi cenderung memupuk budaya feodalisme lama yang menekankan sentralisasi kepemimpinan. Aristokrasi juga memperkuat tradisi lama yang menyerahkan otoritas kekuasaan hanya kepada para bangsawan karena dianggap sebagai makhluk istimewa.Hal itu diperparah dengan penafsiran kebijakan otonomi daerah yang dimanfaatkan untuk kembali membangkitkan tradisi dan jargon-jargon budaya keraton lokal yang feodalistis.Desentralisasi, menurut Ari Dwipayana, justru digunakan untuk mengukuhkan budaya lokal, seperti budaya ajeg di Bali, konsep istimewa di Yogyakarta, kekuasaan nagari di Minang (Sumatera Barat), dan kekuasaan temanggungan di Kalimantan. (Berita Utama Demokrasi di Indonesia Alami Aristokrasi , Kompas, Senin, 17 Mei 2004)Jadi proses aristokrasi itu sendiri menurut pandangan saya seiring dengan pola hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara pihak pemberi gelar bangsawan (kraton) maupun penerima gelar (politisi). Lantas kalau demikian siapa menyalahkan siapa? Menurut Mochtar Mas’oed, aristokrasi tersebut akan menggiring politik nasional dalam budaya demokrasi prosedural dengan menerjemahkan konsep demokrasi pada prosedurnya saja. Sedangkan substansinya justru tercecer.Baginya, aristokrasi menekankan perlunya etika prosedur dan keistimewaan para bangsawan dalam berkuasa. Hal itu bertolak belakang dengan substansi demokrasi yang justru memperjuangkan hak setiap warga negara untuk memperoleh kekuasaan. "Dalam demokrasi, siapa pun yang tercatat sebagai warga negara boleh ikut berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan. Demokrasi juga memberikan kedaulatan kepada rakyat yang diperintah, bukan yang memerintah," katanya.Feodalisme yang dijunjung para bangsawan hanya mempersubur perilaku tradisional masyarakat yang memilih pemimpinnya berdasarkan sentimen asal-usul. Padahal, demokrasi berusaha mengikis perilaku itu dan mendorong masyarakat untuk memilih secara rasional dan legal. "Aristokrasi hanya dimanfaatkan para elite politik untuk mengooptasi masyarakat,". Kondisi tersebut harus diantisipasi dengan melakukan pendidikan politik bagi masyarakat agar mereka terlatih untuk berpikir rasional dan kritis. Dengan begitu, masyarakat tidak akan mudah untuk terus dibodohi para elite. "Pendidikan politik harus menekankan hak warga untuk memperjuangkan aspirasi dan agenda-agenda masing-masing,". (Berita Utama Demokrasi di Indonesia Alami Aristokrasi , Kompas, Senin, 17 Mei 2004)Dampak aristokrasi inilah yang menjadi PR Sultan (Kraton) dan PA (Kadipaten) maupun Kraton-kraton lainnya dinegeri ini, dan tentunya masyarakat Yogyakarta baik untuk demokratisasi pada lingkup lokal maupun bagi teladan bangsa. Karena hingga kini para bupati/walikota di DIY sudah pasti mendapat gelar bangsawan/aristokrat apalagi tokoh-tokoh politik nasional yang membawa implikasi besar serta “bawaan” besar. Kita pahami bahwa dinegara manapun yang masa lalunya monarki, pasti para raja dan kraton atau istananya selalu memiliki peran dan posisi yang istimewa dihati rakyatnya. Dia jadi simbol (contoh Kerajaan Inggris Raya), bahkan jadi lambang pemersatu seperti di Thailan. Tapi pemerintah sehari-hari adalah mereka yang terpilih dari hasil pemilihan umum oleh rakyat. Membicarakan aristokrasi dalam sistem demokrasi yang dikaitkan dengan kekuatan kraton pada akhirnya ketika PR dan sejumlah tanya diatas tidak terjawab maka yang terjadi hanyalah budaya demokrasi prosedural seperti kata Mochtar Mas’oed, dimana yang terjadi hanya proses menterjemahkan konsep demokrasi prosedurnya saja/kulit luar atau menurut saya “demokrasi topeng”, sedangkan inti/substansinya tertinggal atau di petieskan. Sehingga yang menghawatirkan menghantarkan kita pada posisi sebenarnya dalam demokrasi Indonesia kini yaitu deokrasi yang didominasi elit seperti diuraikan diatas. Transisi demokrasi Indonesia berlangsung sama dengan yang digambarkan dalam topologi demokrasi menurut Sorensen. Dimana demokratisasinya sebagai transisi dari atas (transition from above) yaitu transisi yang didominasi oleh elite. Yang pada akhirnya membawa kita pada demokrasi beku (frozen democracy) yang menurut Terry Lynn Karl sebagai demokrasi terbatas, yang di dominasi oleh elite yang tak ingin melampaui batas-batas sempit yang dipaksakan kepada mereka oleh faksi elite yang pertama kali merancang transisi menuju demokrasi. Dan pada intinya untuk mengerucutkan garis edar pembahasan esai Francis Fukuyama yang kontroversi dimana dia berkesimpulan bahwa “akhir dari sejarah yakni: berakhirnya evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal ala Barat sebagai bentuk pemerintahan manusia”. Yang pada akhirnya dibantah oleh beberapa pemikir yang jauh lebih skeptis mengenai masa depan demokrasi yaitu Samuel Huntington yang menulis “sejarah telah membuktikan bahwa baik mereka yang optimis maupun yang pesimis keliru mengenai demokrasi. Kejadian dimasa depan mungkin akan membuktikan hal yang sama. Terdapat hambatan-hambatan besar bagi perluasan demokrasi di masyarakat. Gelombang ketiga “revolusi demokrasi global” pada akhir abad ke-20, tidak akan terjadi untuk selamanya. Gelombang tersebut mungki akan diikuti oleh gelombang baru otoritarianisme yang cukup berkelanjutan untuk menciptakan gelombang balik yang ketiga. Hal itu, bagaimanapun, tidak akan menghalangi gelombang demokratisasi keempat yang dikembangkan pada suatu saat di abad ke-21”. Garis pendapat lain yang menentang “akhir dari sejarah” berpusat pada kenyataan bahwa demokrasi bukanlah sebuah entitas yang pasti. Demokrasi tidak hanya terwujud dalam berbagai bentuk organisasi yang berbeda-beda (parlementer vs presidensial; mayoritas vs perwakilan; sistem dua partai vs multi partai; dan lain sebagainya). Dari hal-hal tersebut diatas maka Sorensen berpendapat bahwa proses demokratisasi dimasa depan akan jalan di arena yang terbagi menjadi dua bentuk yang sangat berbeda. Pada ujung yang satu adalah skenario yang sangat optimis dimana kemajuan demokrasi berlanjut di semua bidang; semakin banyak negara yang menjadi demokratis dan gerakan menuju demokrasi yang solid terjadi dalam sistem tempat sedang berlangsungnya transisi demokrasi. Berlanjutnya demokratisasi pada tingkat lokal dan nasional akan menyebabkan terjadinya demokratisasi pada tingkat sistem internasional. PBB mungkin dapat menjadi titik keberangkatan atau bisa jadi Uni Eropa menjadi pemegang sahamnya. Diujung lainnya adalah skenario pesimistis dimana proses pembusukan demokrasi dimulai yang melanda tidak hanya demokrasi baru di Selatan dan Timur, tetapi juga demokrasi Barat yang katanya “Guru dan Super Power”. Realitas tersebut dalam mata saya terliat bahwa abad 21 ini adalah kuburan bagi demokrasi Barat dengan ditandai penghianatan Amerika Serikat melakukan penyerbuan dan penjajahan atas Negara Irak serta pembusukan yang dilakukan AS di PBB. Terakhir apakah itu demokrasi Barat, Timur dan Selatan ataukah ideologi lainnya baik dalam konsep dan bentuk gerakan pada intinya rakyat yang akan menentukan dan memilih sistem manakah yang cocok bagi hajat hidupnya. Manusia pada kodratnya mempunyai kekuatan untuk memilih dan menentukan dan tentunya berbekal tujuan bahwa manusia mempunyai tugas mulia yaitu ibadah. Jogjakarta dan atau Indonesia mempunyai karakter demokrasi sendiri yang tak mungkin dapat dipersamakan dengan demokrasi di belahan dunia manapun tentunya terletak pada sisi historis murni. Tapi yang paling penting Jogjakarta sudah memulai mengambil sikap dan peran bagi persamaan derajat dan hak rakyat. Berkaca dari Jogja yang mengedepankan/mendasari spirit hidupnya dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dan Hamangku-Hamengku-Hamengkoni, Tahta untuk Rakyat dan Tahta untuk Kesejahteraan Sosial-Kultural, maka dengan nilai-nilai filosofi tersebut jelaslah bahwa sikap Sultan yang seorang Aristikrat darah Mataram yang kini memberikan ruang-ruang tumbuhnya nilai-nilai demokrasi di tanah Jogjakarta adalah sebuah hasil renung panjang (pertapaan) Sultan. Dan tahta untuk rakyat mewujud demokrasi, pada awal dan akhir kebangkitan nasional menemukan nafasnya lewat sabda Sultan Ω¹) [Aristokrasi/Golongan bangsawan atau aristokrasi merupakan suatu sistem kerajaan dimana pemerintahnya berasal dari golongan bangsawan atau aristokrat. Bangsawan disini tidak semestinya termasuk golongan raja tetapi mereka yang datang dari kumpulan berstatus tinggi dan berharta.Aristokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno aristo yang berarti "terbaik" dan kratia yang berarti "untuk memimpin". Aristokrasi dapat diterjemahkan menjadi sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang terbaik.Sebagai salah satu istilah bentuk pemerintahan, aristokrasi dapat dibandingkan dengan:otokrasi - "pemerintahan oleh seorang individu".meritokrasi - "pemerintahan oleh individu yang paling pantas untuk memimpin".plutokrasi - "pemerintahan oleh orang-orang kaya".oligarki - "pemerintahan oleh segelintir individu".monarki - "pemerintahan oleh seorang individu".demokrasi - "pemerintahan oleh rakyat"].²) [Monarki Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan di mana Raja menjadi Kepala Negara. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 buah tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 buah dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai raja atau monarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada sistem konstitusi. Perbedaan diantara Raja dengan Presiden sebagai Kepala Negara adalah Raja menjadi Kepala Negara sepanjang hayatnya, sedangkan Presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. Namun dalam negara-negara perserikatan seperti Malaysia, Raja atau Agong hanya berkuasa selama 5 tahun dan akan digantikan dengan raja dari negeri lain dalam persekutuan. Dalam zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki konstitusional, yaitu raja yang terbatas kekuasaannya oleh konstitusi. Monarki juga merujuk kepada orang atau institusi yang berkaitan dengan Raja atau kerajaan di mana raja berfungsi sebagai kepala eksekutif. Monarki demokratis atau dalam bahasa Inggris Elective Monarchy, berbeda dengan konsep raja yang sebenarnya. Pada kebiasaannya raja itu akan mewarisi tahtanya (hereditary monarchies). Tetapi dalam sistem monarki demokratis, takhta raja akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis. Bagi kebanyakan negara, Raja merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, raja biasanya ketua agama serta Panglima Besar angkatan tentara sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang di-Pertuan Agong merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania Raya dan negara di bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah ketua agama Kristen Anglikan. Meskipun demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat simbolis saja. Selain Raja, terdapat beberapa jenis pemerintah yang mempunyai bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah]Daftar Referensi(http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi)(Georg Sorensen/Univ. Aarhus, Demokrasi dan Demokratisasi-proses dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah, Pustaka Pelajar, 2003) (http://www.pemda-diy.go.id/Pemerintah Propinsi DI.Yogyakarta, Peluncuran Buku Sabda Ungkapan Hati Seorang Raja Kraton Yogyakarta)(http://kabare.jogja.com,/ Senin, 02 April 2007, Psikologi Jawa, Acuan Falsafah Dalam Manajemen)(http://www.kaskus.us/[Kolom Asal Usul Kompas] Sultan Mohamad Sobary)(Pamomong pada http://kajawen.suaramerdeka.com/).(http://suarakarya-online.com/)(http://korantempo.com/)(http://kajawen.suaramerdeka.com/)(Pamomong: Mengejar Makna di Balik Sabda Brahmana Raja di http://kejawen.suaramerdeka.com/)(http://www.suaramerdeka.com/harian).(http://www.kaskus.us/[Kolom Asal Usul Kompas] Sultan Mohamad Sobary)(Meneguhkan Kembali Semangat Kolektif Dalam Persatuan dan Kesatuan Indonesia Baru pada buku Indonesia Membaca: Refleksi Kritis Atas Perubahan, Forum LSM DIY-YPPIK, Yogyakarta, 2000)(Berita Utama Demokrasi di Indonesia Alami Aristokrasi , Kompas, Senin, 17 Mei 2004)Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi “Merancang Pemikiran Ulang Keindonesiaan”, Kompas, Jakarta, 2001Demokrasi di Era Digital, Anthony G Wilhelm, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2003Sosialisme-Demokrasi “Dalam Teori dan Praktek”, Prof. Dr. Thomas Meyer, CSDS, Jogjakarta, 2003Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Samuel P. Huntington, Qalam, Yogyakarta, 2003Dialektika Peradaban “Modernisme Politik dab Budaya di Akhir Abad ke-20”, John L Esposito dkk, Qalam, Yogyakarta, 2002Jurnal Demokrasi “Maju Kalah Mundur Kena”, Forum LSM DIY, Yogyakarta, 2004Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Editor Abdul Gaffar Karim/Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Pustaka Pelajar, 2003

http://ramaprabu.multiply.com/reviews/item/22
Share this article :
Comments
0 Comments

Post a Comment

 
THnks to : ARHvoice | ARHvoice | ARHvoice
Copyright © 2011. [ ARH ] Ari Hamzah voice over | lirik lagu | puisi | prosa | - All Rights Reserved
ARH voice - sentuhan majasku
Proudly powered by Blogger